Drama keluarga arahan Hirokazu Kore-eda menyuguhkan cerita tentang Shinoda yang sudah berpisah dengan istrinya, Kyoko, dan anaknya, Shingo. Shinoda merupakan seorang penulis yang juga menjadi detektif yang memiliki hobi berjudi. Sebuah badai besar yang datang saat Shinoda pulang adalah titik balik segalanya. Film ini menawarkan visual yang apa adanya. Permainan shot kamera yang steady ketika menangkap ekspresi tokoh seakan menjadi mata yang mengintai. Ciri khas Kore-eda pada bagian teknis juga nampak pada After The Storm (2016) dengan permainan long shot sebagai penggambaran suasana latarnya. Desain suara pun juga tidak ada yang
berlebihan; musik yang minimalis menjadi pemanis yang ditempelkan pada adegan yang penting.
Penggambaran Shinoda sebagai sosok yang menyedihkan dan tak dapat merelakan masa lalunya, digambarkan dengan apik dan sangat baik. Penyampaian keinginan Shinoda sebagai bapak yang baik untuk anaknya demi tak mengulang apa yang bapaknya lakukan, sampai dengan baik. Hal-hal kecil yang dia lakukan demi anaknya disampaikan dengan sangat menyentuh; dapat dilihat pada adegan Shinoda yang membelikan burger untuk Shingo. Cara Kore-eda dalam menyajikan kesedihan tak pernah menggunakan kesedihan tersebut secara eksploitatif –bahkan tak ada air mata yang nampak sepanjang film. Di samping ketidaksempurnaan Shinoda, dia ditampilkan sebagai sosok yang selayaknya manusia.
Rasanya, tak perlu yang muluk-muluk untuk menyampaikan keretakan dan kedekatan yang diusahakan dalam relasi ayah-anak di After The Storm (2016). Kesederhanaan membuat film ini menjadi film yang spesial. Dunia yang dibangun dalam film ini seakan tak terbatas dengan dunia kita, selayaknya menyaksikan realitas yang ada.
After The Storm (2016) dapat ditonton di Kanopy.
Ditulis oleh Moh Ali Azca pada 16 Januari 2019 | Disunting oleh vanis.